Suara bising ibu kota membuat matahari marah, sehingga
mengeluarkan panas yang membuat sebagian tubuhku gosong, selain membakar ia
mengambil cairan yang berada dalam tubuh yang menyebabkanku tak dapat lagi
berkonsentrasi.
Inilah ibukota, tempat yang memberiku segalanya untuk
bertahan hidup selama sepuluh tahun terakhir, dan kini aku harus pergi kembali menuju
kampung halaman setelah surat pengunduran diri pada perusahaan dimana aku
bekerja kuberikan.
Pagi itu Saat semuanya kembali bekerja, aku ditemani segelas
kopi bersantai di depan teras kontrakan, sembari memaandang seluruh bagian
dinding yang menjadi saksi bisu perjuanganku di ibu kota. Mmmmhhh, ku helakan
napas, hari ini aku akan kembali ke tempat yang melahirkan dan mengajariku
berjalan yaitu kampung halaman yang aku rindukan sejak lama. Diantara barang yang kubawa, hanya dia yang
setia menemaniku tas daypack berwarna merah yang di beri dari sahabat lama
ketika pertama pergi ke ibu kota, sebenarnya aku belum begitu sukses berada di
ibu kota, tapi keadaan memaksa lain, ibu menyuruhku pulang, n’tah apa yang akan
ibu lakukan pada anaknya ini, yang pergi tanpa pamit meninggalkannya.
Diantar ojek online aku menuju stasiun kereta api, antrian
panjang di loket membuatku harus menunggu lama untuk mendapatkan tiket tujuan,
hingga lima belas menit barulah aku mendapatkan tiket dan kembali mencari
tempat istirahat sembari menunggu kereta yang mengantarku pulang kampung, tak
banyak yang bisa aku lakukan di dalam stasiun selain bermain handphone, kini
tak ada lagi pedagang asongan yang berkeliaran untuk menghilangkan dahaga saja
aku harus membaanya dari rumah apa lagi untuk membakar sebatang rokok kini tak
bisa aku lakukan.
Tak lama suara wanita terdengar dari speker, mengingatkanku
bahwa kendaraan yang akan aku tumpangi akan segera tiba, aku segera berdiri dan
memposisikan di antara antrian manusia yang sedari tadi bersama menunggu,
kereta tiba sekitar pukul 09.00, setelah pintu terbuka beberapa manusia turun
dan keluar dan berberapa manusia naik dan masuk hingga pintu kembali tertutup..
Setelah beberapa stasiun terlewati, kereta yang membawaku
sampailah di tempat tujuan ku yaitu stasiun Rangkasbitoeng, ternyata stasiun
inipun mengalami perubahan, tidak seperti saat aku tinggalkan dulu, sekarang
begitu rapih dan tertata. Mungkin ini hanya efek dari dekatnya jarak dengan ibu
kota hingga mengalami perubahan.
Setibanya di stasiun aku disambut seorang lelaki yang menjemputku,
sebenarnya dia bukan bagian dari keluargaku, ia Tajul sahabat lama yang aku
tinggalkan sepuluh tahun lalu, ia emang
ku hubungi ketika di dalam perjalanan tadi untuk menjemput.
“ Apa kabar brother? Mengapa kau meninggalkan ibu kota, apa
kau lelah disana, ucapan yang menyambutku setelah bersalaman dengannya,
“ Kabar baik kawan, bukan lelah tapi orang tuaku memaksaku
untuk segera pulang, hampir seminggu mereka menemuiku dalam mimpi, n’tah apa
yang sebenarnya terjadi. Tapi mereka memaksaku untuk segera pulang.
“ Ayo broo, aku antar
kau pulang,
“ Tidak kawan, bawa aku pulang ke rumahmu dulu, aku rindu
juga sama ibumu
“ Ok…deh
Langkahh kaki mengarah sebuah tempat parkiran, dimana motor
yang dikendarai Tajul terparkir, setelah membayar biaya parkir ia segera
menghidupkan motornya, dalam perjalanan tajul menghentikan motornya, “ Kenapa
berhenti? Tanyaku
“ Masa mau ke rumah, loe gak bawa apa-apa, emang gak malu
sama ibu gue broo, loe kan dah lama gak ke rumah,
“ Ohh, iya, terus kita beli apa?
“ Ibu ku senang makan buah, beli aja beberapa kilo buat dia,
“ Ok,Ok.
Setelah mendapatkan plastik berisi buah-buahan aku menukar
beberapa lembar kertas yang aku berikan kepada penjualnya, aku melanjutkan
perjalanan, hingga tiba di rumah kawanku itu. Setibanya di rumah Tajul, keadaan
rumah begitu sepi, hanya ada beberapa shopa yang berbaris rapih di ruang
tengah, “ dimana ibu Jul, tanyaku
“ Tak tau, sebelum berangkat menjemputmu ibu ada di rumah !
jawabnya, mungkin lagi pergi ke majlis untuk mengikuti pengajian
“ owhhh, ya sudah, aku istirahat dulu ya, pegal kaki ini
berdiri terus tadi,
Tak ada perintah dari tajul, aku segera memasuki kamarnya,
karena aku telah terbiasa tinggal disini semasa sekolah SMK dulu, hingga aku
anggap rumah ini adalah rumahku.
Beberapa hari aku tinggal bersama keluarga kawanku, kehangat
sebuah keluarga terasa banget saat berada diantara mereka, hingga rindu ingin
bertemu ibupun kembali menemani pikiranku, aku paksakan untuk segera pamit dan
pulang menemui ibu, dengan meminjam sepeda motor milik kawanku, sebelum
matahari itu pergi aku segera meninggalkan rumah Tajul dan menuju ibu.
Ketika bulan telah
berada diatasku, aku telah sampai di sebuah pesisir pantai, ku parkirkan motor
tua nan gagah milik temanku diantara pohon kelapa yang menjulang tinggi keatas,
Kedua kaki mulai melangkah diantara pasir dan terus mendekat
ke arah bibir pantai, tiba-tiba kaki tak bisa lagi melangkah, kaki ini lemas
tak berdaya, hingga aku terduduk diantara pasir dan buih.
“ Ibu aku pulang!
“ Kenapa kau tidak pernah membukakan pintu untuk anakmu ini
“ Aku pulang ibu,
“ Aku rindu
“ Bukakan pintu ibu, aku Jingga anak lelakimu, yang kini
telah dewasa
Hingga terbitnya matahari, Jingga masih terdiam, seluruh tubuhnya terendam air laut, berjuta rasa
mengaduk dalam hati dan pikirannya, kenapa alam mengambil orang yang sangat ia
cintai, dan tak pernah mengembalikannya.